BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jianayah atau lengkapnya Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahsan fiqh. kalau fiqh adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia,
Maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksi hukuman yang berkenan dengan kejahatan itu.
Tujuan umum dari ketentuan yang di tetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan menfaat bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemudaratan dari manusia. Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk kerusakan.
Fiqh jinayah ini berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah manusia melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan dirasakannya azab Allah di akhirat.
Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman atas setiap pelanggaran terhadap larangan Allah itu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat di uraikan sebagai beriku :
- Bagaimana yang di maksud dengan jarimah hudud?
- Bagaimana yang di maksud jarimah qishas/diyat?
- Bagaiman yang di maksud jarimah ta’zir?
C. Tujuan Penulis
- Untuk mengetahui jarimah hudud.
- Untuk mengetahui jarimah qishas/diyat
- Untuk mengetahui jarimah ta’zir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jarimah hudud
Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi, secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara lain: jarimah qisâs/diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta'zir.
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).
Dengan demikian cirikhas jarimah hudud itu sebagai berikut:
- Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
- Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalauada hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebihmenonjol.
Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai berikut: hak Allah adalah yang di sekitar yang bersangkutan dengan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama,tidak tertentu mengenai orang seorangan. Demikian hak Allah,sedangkan Allah tidak mengharapkan apa-apa melainkan semata-mata membersarkan hak itu di mata manusia dan menyatakan kepentingan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain,hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali pada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang. Dalam hubungannya dengan hukum had maka pengertian hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bias di hapuskan secara perseorangan atau masyarakat yang di wakili oleh Negara.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam yakni :
1. Zina dan liwath(homo seksual dan lesbian)
Had zina ada dua macam,hukum cambuk di sertai pengasingan dan hukum rajam(di lempari batu sampai mati).Jika seorang pezina perawan atau perjaka bukan mushan(sudah menikah) dan orang merdeka hadnya berupa cambukan sebanyak seratus kali sesuai dengan firman Allah dalam surat(An-nur:2) yakni :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Dan mereka juga harus di asingkan selama setahun, , ketentuan pengasingan ini sesuai dengan hadits Nabi: “Perzinaan yang dilakukan oleh lelaki perjaka dengan wanita perawan (Gadis) hukumannya seratus kali deraan dan dibuang selama setahun” (Hr. Muslim). Sedangkan jika perzinaan itu dilakukan oleh wanita yang telah menikah (muhshan), maka hadd atas kedua pelakunya adalah dirajam sampai mati.
2. Al-Qadzaf (menuduh zina orang lain)
Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an, (QS. An-Nuur: 4)
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
3. Minum khamr
Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu.Haditsnya ia lah :
كَانَ النَّبِيُّ يَضْرِبُ فيِ الخَمْرِ بِالجَرِيْدِ وَالنِّعَالِ أَرْبَعِيْنَ
Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
4. Pencurian
Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukum potong tangan.
5. Murtad
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.
Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati.
6. Hirabah atau bughat
Pelaku bughat (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughat berbeda dengan perang melawan orang kafir.
Perang melawan pelaku bughat hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughat tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini.
Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanimah.
B. Tindak Pidana Qishas-diyat
Pengartian qishas-diyat
Jarimah(tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Al Mawardi sebagai berikut: yaitu segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan), yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
Sedangkan qishas kadang dalam hadist disebut juga dengan kata qawad, yang artinya adalah semisal, seumpama (Al Mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain, pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan.Tedapat dalam surat Al-baqarah:178 yakni
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dalam hal ini, gambaran kisas adalah ketika X yang melakukan sebuah jarimah terhadap Y, maka Y atau ahli warisnya memiliki hak untuk memperlakukan pada X sesuai dengan jarimah apa yang X lakukan.
Seperti contoh X membunuh Y maka ahli waris Y (Y atau ahli warisnya disebut mustahiq al-qishash) berhak menuntut agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.
Diyat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, atau hanya mengakibatkan luka, atau tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi sengaja.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari kisas. Maksudnya, dalam pembahasan kisas yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishâsh memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih kisas, perdamaian, atau memaafkan.
Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.
Macam-macam jarimah qishas-diyat
Maksud dari macam-macam kisas dan diyat adalah jenis-jenis dari kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara kisas atau diyat. Seorang ulama kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum kisas atau diyat. Lima jenis kejahatan itu adalah :
a. Pembunuhan sengaja
Pengertian pembunuhan adalah sebuah pekerjaan yang melenyapkan nyawa yaitu pembunuh jiwaPengertian lainnya adalah sebuah pekerjaan hamba yang menyebabkan hilangnya nyawa Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan bahwa pembunuhan itu adalah melenyapkan ruh anak Adam dengan perbuatan anak Adam yang lain.
Bagian pertama (pembunuhan sengaja) adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang lain dengan senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang yang ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh.
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد” adalah sengaja. Sengaja adalah perkara yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti yang menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh.
b. Pembunuhan menyamai sengaja
Menurut mazhab Hanafi adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil, atau sebuah tamparan.
Dari pengertian ini, maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah pukulan yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan, atau dengan menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia memiliki sakit jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai pembunuhan yang menyamai sengaja.
c. Pembunuhan tidak sengaja
Sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann pelaku : melempar sesuatu yang ia sangka haiwan buruan, ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbi ternyata muslim.
Maksud di sini adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu niat. Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’i yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
d. Pencederaan sengaja
Segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.
e. Pencederaan tidak sengaja
Si pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah. Sanksi dan cara pembuktian.
Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد ) maka sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara :
- Dosa besar karena ada ayat Alquran yang menyatakan ia akan tetap di neraka jahanam;
- Diqisas karena ada ayat qisas
- Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun"
Sanksi asal pertama adalah qisas. Qisas di sini adalah dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Ketika mustahiq al-qishash memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’I dalam sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustahiq al-qishash tadi.
Secara hukum si mustahiq al-qishash berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyat. Mustahiq al-qishash juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh.
Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari qisas. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman asal dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh dikisas dan sekaligus membayar diyat.
Sanksi asal yang kedua yaitu membayar kafaroh,adapun kafarohnya adalah memerdekakan hamba muslim kalau di temukan,seumpama tidak maka puasa dua bulan terus menerus.
Sanksi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’I sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut.
Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham. Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.
Sanksi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zir. Menurut mayoritas ulama, ta’zir ini tidak wajib. Ia hanya diserahkan kepada kebijakan imam dalam melakukan apa yang dianggap munasabah dengan kemaslahatan. Maka Imam dapat memenjara atau memukul atau al-ta`dîb yang sesamanya.
Sanksi yang mengikuti kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan pendapat.
Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya.
Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya.
Sanksi asal kedua bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah membayar kafarah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus.
Sanksi gantian bagi pembunuhan yang menyamai sengaja adalah ta’zir.
Sanksi yang mengikuti pembunuhan yang menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.
Sanksi bagi pembunuhan bersalah yaitu Sanksi asalnya adalah diyat dan ta’zir. Diyat bagi pembunuhan ini adalah diyat mukhaffafah. Kadarnya dalah 100 unta dengan perinciang: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhâdl.
Sanksi yang mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat. Sanksi untuk pencederaan sengaja di bagi menjadi 4 yaitu :
- Pencederaan anggota tubuh dengan terputusnya anggota tubuh. Sanksinya qishos ataupun diyat atau ta’zir
- Pencederaan dengan hilangnya kemanfaatan tubuh. Sanksinya membayar diyatatau ganti rugi atau keadilan hukum
- Pencederaan luka kepala dan wajah. Sanksinya sama seperti (b)
- Pencederaan luka selain kepala. Sanksinya pun sama dengan (b)
Pembuktian qisas dan diyat
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang mengakibatkan kisas atau diyat adalah sebagai berikut :
- Pengakuan (Pengakuan di sini harus terperinci tidak boleh syubhat)
- Persaksian (Syarat minimal ada 2 orang saksi laki-laki yang yang adil)
- Qarinah (Segala tanda-tanda yang zahir bersamaan dengan sesuatu yang samar)
- Menarik diri dari sumpah (Sumpah yang di ajukan kepada terdakwa oleh hakim)
- Al-qasammah (Sebuah sumpah yang di ulang-ulang untuk kasus pembunuhan)
C. Tindak Pidana
Ta’zir Ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Ta‘zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya.
Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zir menjadi tujuh :
- Pelanggaran terhadap kehormatan
- Penyerangan terhadap nama baik
- Tindak yang bisa merusak akal
- Penyerangan terhadap harta milik orang lain
- Ganggungan terhadap keamanan atau privacy
- Mengancam keamanan Negara
- Kasus-kasus yang berkenaan dengan agama
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu.
Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.
Ta'zir sering juga disamakan oleh fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat. Hukuman ta'zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap berbagai perbuatan yang tidak dihukum dengan hukuman hudud atau terhadap kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumnya hanya syaratnya tidak cukup (misalnya saksi tidak cukup dsb).
Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada penguasa yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau penguasa memiliki kebebasan untuk menetapkan hukuman ta’zir kepada pelaku tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran. Pemberian hak ini adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan. Tindak pidana yang dikenakan hukuman ta’zir selain tindak pidana yang dihukum dengan hudud, qisas atau diyat, dan kiffarat.
Bentuk hukumannya bisa berupa hukuman mati, dera, kurungan, pengasingan, salib, ancaman, denda, dsb.
Dilihat dari hak yang dilanggar, ta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah.
Yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, seperti pencurian, penimbunan bahan pokok dan lain-lain. Bisa dikatakan juga dengan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang karena meninggalkan kewajiban, seperti tidak membayar zakat.
2. Jarimah yang berkaitan dengan hak perseorangan.
Yaitu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu atau bisa juga sabagai suatu siksaan yang dijatuhkan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syariat, seperti penipuan, pengkhianatan, penghinaan dan lain-lain.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian :
1. Ta’zir atas perbuatan maksiat.
Yaitu semua maksiat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran namun tidak ada ketentuan atas hukuman yang dijatuhkan. Seperti memakan harta anak yatim, riba, menghina orang lain dan lain-lain, hukumannya pun lebih ringan dari pada had.
2. Ta’zir atas perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
Yaitu semua tindak pidana yang dianggap melanggar kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur yang merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman.
3. Ta’zir atas pelanggaran (mukhalafah).
Jenis yang ketiga ini sepenuhnya ditentukan oleh ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pemerintah.
Hukuman-hukuman terhadap jarimah ta’zir
1. Hukuman mati
Sebagaimana di ketahui ta’zir mengandung arti pendidikan dan pengajara. Dari pengertian itu dapat kita pahami bahwa,mengubah si pelaku menjadi orang yang baik kembali dan tidak melakukan kejahatan yang sama pada waktu yang lain. Dengan maksud pendidikan tersebut,keberadaan si pelaku setelah melakukan suatu jarimah harus di pertahankan,si pelaku harus hidup setelah hukuman di jatuhkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Oleh karena itu,hukuman yang di berikan kepada si pembuat jarimah tidak lah sampai membinasakan si pelaku jarimah sebab dengan kematian si pembuat jarimah,tujuan mendidik kembali ke jalan yang benar tidak akan tercapai namun,apa bila kejahatan ini terulang kembali bahkan lebih besar dampak nya maka si pelaku harus di di lenyakpan karena dampak negative yang di lakukannya dapat mengancam kemaslahatan umat.
Pada dasarnya hamper seluruh ulama membolehkan saksi mati,ini sebagai hukuman ta’zir apabila ada kemanfaatan dan keadaan apapun menuntut untuk itu. Harus di pertimbangkan bagi kemaslahat masyarakat dan penyebarabaran kerusakan yang lebih parah di masa mendatang,dalam hal ini harus di perhatikan kejahatan-kejahatan yang dampak negatifnya dapat mengancam kemaslahatan bangsa dan Negara di masa yang akan dating.
2. Hukum jilid
Hukuman jilid pada jarimah hudud,yaitu pada jarimah perzinaan,menuduh zina dan yang meminum-minuman yang memabukan.Bagi orang yang berzina seratus jilid,menuduh berzina delapan pulu jilid,meminum-minuman yang memabukan empat puluh jilid.
Hukuman-hukuman tersebut di sepakati para ulama sebagai hukuman pokok pada jarimah tersebut di atas sebagaimana di jelaskan did ala al-qur’an dan as-sunah. Adapun pendapat di kalangan para ulama bahwa jarimah ta’zir adalah hak penguasa,maka batas jumalah hukuman ta’zir harus di serahkan pada uli amri sebagai pemegan kekuasaan atas jarimah ta’zir ini berdasarkan kemaslahatan umum.
Oleh karena itu,uli amri memiliki kekuasaan untuk menentukan jumlah jilid yang di jatuhkan dengan pertimbangkan situasi dan kondisi bisa saja lebih dari seratus kali jilid atau kurang dari seratus kali jilid jikalau kemaslahatan menghendaki hal itu.
Hukuman jilid juga bias menghindari si terhukum dari akibat samping hukuman penjara dan ini pada hakikatnya memberikan kemaslahatan bagi si terhukum. Dalam hukuman jilid si terhukum setelah hukuman selesai,akan kembali kedalam keseharian bersama keluarga,terlepas dari pergaulan buruk sesama narapidanan selama di dalam penjara.
Sebaliknya di penjara terhukum akan berkumpul dengan narapidanan dengan berbagai keahlian jahat.Ini akan menjadi modal baginya setelah keluar nantik,menjadikan nya lebih berani dan percaya diri. Bahkan kawannya sesame narapidana di penjara bias saja membuat kelompok untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.
Walaupun demikian di dalam penjara juga di berikan sosialisai berupa pembekalan bagi narapidana tersebut jikalau mereka sudah keluar nantik ada keahlian yang merek punyai.
3. Hukum pengasingan
Mengenai istilah pembuangan ini,juga terjadi iktilaf ulama. Sebagian mengartikan pembuangan sesuai dengan arti harfiah yaitu membuang dari suatu tempat ke tempat yang lain,dari negri yang satu ke negri yang lain.Sebagian mengartikan pembuangan sebagai penjara hanya saja penjara yang di maksud adalah pengasingan dari masyarakat banyak.
Jadi sebagai jalan tengah adalah membuang si terhukum dalam satu tempat,masi dalam wilayah negara dalam bentuk memenjarakannya. Sebab kalau tidak di buang di tempat khusus dia akan membahayakan tempat pembuangannya.
Hal itu sama saja menghilangkan kemudratan dari satu tempat ke tempat lain sehingga akan menciotakan kemudaratan baru.Oleh karena itu seperti yang di contohkan H.A.Djazuli,membuang pelaku kriminal ke nusa kambangan merupakan solusi terbaik.
4. Hukum penyalipan
Dalam pengertian ta’zir,hukum salib berbeda dengan hukum salib yang di kenakan jarimah hudud hirabah. Hukum salib sebagai hukuman ta’zir di lakukan tanpa tanpa di dahului atau di sertai dengan mematikan si pelaku jarimah.Dalam hukum ta’zir ini si murjin di salib hidup-hidup dan di di larang makan dan minum atau melakukan kewajiban shalatnya walaupun sebatas isyarat,adapun lamanya hukuman ini lebih kurang tiga hari.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya hukuman. Adapun menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.
Sedangkan qishas kadang dalam hadist disebut juga dengan kata qawad, yang artinya adalah semisal, seumpama (Al Mumatsilah). Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam ungkapan lain, pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan.
Diyat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, atau hanya mengakibatkan luka, atau tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi sengaja.
Ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
B. Saran
Pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,kritik dan saran pembaca sangat di harapkan penulis demi kebaikan hasil makalah ini.Penulis berharap dengan makalah ini para pembaca bisa lebih paham terhadap pemaparan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i, Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam ,Jakarta; Sinar Grafika, 2005
- Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan hukum acara Islam , Semarang; Pustaka Rizki putra, 1997
Comments
Post a Comment